Santa Gemma Galgani, Perawan
Gemma Galgani lahir
di Camigliano, Tuscany, Italia pada tanggal 12 Maret 1878. Ketika
berumur dua tahun, Gemma kecil tinggal di rumah seorang sanaknya karena
beberapa anggota keluarganya, terutama ayah dan ibunya penderita
penyakit TBC Sinkron. Hal ini ditempuh dengan maksud agar Gemma tidak
terjangkiti penyakit ganas itu. Di sana ia bertumbuh besar dengan baik.
Pada umur sembilan tahun, ia menerima komuni pertama. Semenjak itu ia
bertekad menempa dirinya menjadi orang yang rajin berdoa. Ia tampak
sederhana dalam berpakaian namun menyimpan dalam hatinya suatu kesucian
hidup yang luar biasa. Pada suatu ketika tatkala sedang berdoa di
gereja untuk ayah dan ibunya yang sedang sakit, tiba-tiba ia mendengar
suata suara ajaib: “Gemma, bolehkah ibumu Kuambil?” Tanpa banyak
berpikir, Gemma menyahut suara itu: “Ya, boleh Tuhan! Tetapi saya juga
turut”. “Tidak! Kali ini hanya ibumu. Kelak, Gemma boleh juga turut ke
surga!” balas suara itu.
Ketika Gemma berumur 20 tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia ditinggalkan ayahnya dalam keadaan miskin dan melarat. Dalam keadaan itu, sebagai anak perempuan tertua, ia harus mengurus adik-adiknya. Betapa berat beban yang ditinggalkan orang-tuanya. Sementara itu penyakit TBC yang ganas itu mulai perlahan-lahan menyerangnya juga. Penyakit inilah yang menjadi penghalang terbesar baginya dalam melaksanakan tugas sehari-hari, terutama dalam mewujudkan cita-citanya menajdi seorang suster Passionis. Permohonannya untuk menjadi suster Passionis ditolak karena penyakit yang dideritanya itu. Tetapi ia tidak putus asa.
Ia percaya bahwa
penyakit itu bisa disembuhkan. Untuk itu ia berdoa untuk memohon
kesembuhan. Ia melakukan novena kepada Santo Gabriel Porssenti
(1838-1862), seorang imam Passionis, yang menjadi tokoh pujaannya.
Tuhan ternyata mengabulkan permohonan Gemma dengan memberikan
penyembuhan ajaib kepadanya. Meskipun demikian, kesehatannya tidak
pulih seluruhnya, sehingga cita-citanya untuk menjadi suster passionis
tetap tidak terwujudkan. Oleh karena itu, ia bertekad untuk menghayati
hidup baktinya kepada Tuhan di rumah seorang wanita Katolik, tempat ia
bekerja sebegai pembantu rumah tangga. Dalam cara hidup demikian, Gemma
ternyata bisa mengalami suatu kedekatan yang mendalam dengan Tuhan. Ia
mengalami banyak peristiwa ilahi dalam hidupnya, dan dikaruniai kelima
luka Yesus (stigmata) pada kaki, tangan, dan lambungnya, serta
luka-luka pada kepala Yesus karena tusukan mahkota duri. Selain
mengalami penderitaan badani, Gemma juga mengalami penderitaan batin
yang hebat karena celaan orang-orang sekitar terhadap cara hidupnya. Ketika Gemma berumur 20 tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia ditinggalkan ayahnya dalam keadaan miskin dan melarat. Dalam keadaan itu, sebagai anak perempuan tertua, ia harus mengurus adik-adiknya. Betapa berat beban yang ditinggalkan orang-tuanya. Sementara itu penyakit TBC yang ganas itu mulai perlahan-lahan menyerangnya juga. Penyakit inilah yang menjadi penghalang terbesar baginya dalam melaksanakan tugas sehari-hari, terutama dalam mewujudkan cita-citanya menajdi seorang suster Passionis. Permohonannya untuk menjadi suster Passionis ditolak karena penyakit yang dideritanya itu. Tetapi ia tidak putus asa.
Gemma sadar bahwa ia mendapat tempat istimewa dalam hati Tuhan. Namun ia tetap rendah hati dan menganggap dirinya lebih rendah daripada orang-orang lain di hadapan Tuhan. Akhirnya, sebagaimana pernah didengarnya sendiri dari suara ajaib itu, Gemma dipanggil menghadap Tuhan pada tanggal 11 April 1903 di Lucca, Tuscany, Italia. Dikemudian hari oleh Paus Pius XII (1939-1963) Gemma dinyatakan ‘Kudus’ pada tanggal 2 Mei 1940, gelar Kudus ini diberikan kepada Gemma bukan karena pengalaman rohaninya yang luar biasa, melainkan karena kesucian hidup dan kerendahan hatinya baik di hadapan sesamanya maupun di hadapan Tuhan.
Santa Rachel, Pengaku Iman
Rachel adalah
seorang gadis keturunan Yahudi. Bersama orangtuanya, ia tinggal di
Louvain, Belgia. Iman Kristen sudah dikenalnya semenjak masa kecilnya.
Ketika berusia 12 tahun, ia meninggalkan orangtuanya yang masih
menganut agama Yahudi, demi imannya kepada Kristus. Ia kemudian menjadi
seorang suster dengan nama Katerina.
Rachel, Istri Yakob
Rachel, istri
Yakob, leluhur Israel, adalah ibu kandung Yusuf (Kej 30:22-24), dan
Benyamin (Kej 35:16-20). Rachel juga adalah nenek dari Efraim dan
Manasse. Ia meninggal dunia setelah melahirkan Benyamin. Jenazahnya
dikuburkan di Efrata, sebelah Utara Yerusalem, daerah yang kemudian
didiami oleh suku Benyamin. Kitab kej 35:19 menunjukkan Betlehem
sebagai tempat penguburan Rachel. Disana Yakob mendirikan baginya
sebuah tugu peringatan. Tradisi Kitab Suci memandang Rachel bersama
saudaranya Lea sebagai dua orang ibu yang ‘membangun keluarga Israel’
(Ruth 4:11). Dalam kejadian bab 29 dapatlah dilihat kisah tentang siapa
Rachel itu. Selain itu, terdapat juga empat keterangan lain yang
menjelaskan tentang diri Rachel (Ruth 4:11; Raj 10:2; Yer 31:15; dan Mat
2:18).
Para Martir dari Inggris
Henry VIII, raja
Inggris yang terkenal kejam itu, memisahkan Gereja di Inggris dari
Roma, sebab Sri Paus tidak bersedia mengesahkan perceraiannya dengan
istrinya yang pertama. Ia lalu mengangkat dirinya menjadi kepada Gereja
Inggris. Ia menuntut supaya semua pihak mengakuinya sebagai Kepala
Gereja. Mereka yang membangkang diancam hukuman mati. Mula-mula sedikit
saja yang menentang raja seperti John Fischer, uskup yang diangkat
menjadi Kardinal ketika berada di penjara; lalu Thomas Moore, kanselir
dan sastrawan. Pertama-tama John Houghton, Abbas biara Kartus London,
dan Lincoln, bersama dengan 18 rahibnya dan imam-imam projo dibunuh
dengan kejam.
Tidak kurang dari
950 biara ditutup dan segala harta miliknya disita oleh raja yang
menginginkan tanah dan milik gereja itu. Puluhan gedung Gereja
dihancurkan. Di bawah pemerintahannya, Henry membunuh dua dari enam
orang istrinya, dan 50 martir menemui ajalnya. Penganiayaan yang lebih
kejam lagi dilakukan oleh putrinya Ratu Elisabeth I. Ia tegas-tegas
menuntut agar diakui sebagai kepala Gereja Inggris (1559). Semua uskup
dipenjarakan dan rakyat dipaksa mengikuti ibadat Angilkan. Sekalipun
Elisabeth begitu kejam, namun dari 188 martir waktu itu tidak satu pun
yang tidak loyal terhadap dia sebagai ratu. Sungguhpun demikian ratu
memerintahkan bawahannya supaya menyiksa mereka dengan cara-cara paling
ngeri dan tidak berperikemanusiaan. Semua imam ditangkap dan dibunuh
dan orang-orang awam yang memberi penginapan kepada mereka digantung.
Akan tetapi ancaman ini tidak berhasil mencegah banyak pemuda Inggris
yang berani mengungsi ke daratan Eropa dan belajar teologi, lalu pulang
ke negerinya untuk melayani umat. Setiap gerak langkah mereka
dibuntuti oleh dinas Intelejen ratu, sehingga sesudah beberapa tahun
mereka ditangkap, disiksa, digantung dan sebelum mati dipotong untuk
dicincang-cincang.
Di antara mereka
dikenal Edmund Campion SJ (pesta: 1Des), yang ketika menjadi mahasiswa
pernah mengelu-ngelukan ratu dengan sajak pujian di Universitas Oxford;
Cuthbert Mayne Pr yang disalahkan karena membawa surat Paus ke dalam
negeri. Margaret Clitherow ditindih dengan batu besar sampai mati,
karena memberikan penginapan kepada seorang imam dan tidak mau
membocorkan nama imam itu kepada polisi; P. Robert Southwll SJ (pesta:
1Des), penyair dan imam yang disekap dalam kandang penuh tahi dan
kotoran sesudah disiksa selama 4 hari.
Ayahnya yang
Protestan itu segera meminta kepada ratu agar selekasnya menghukum mati
anaknya. Kadang-kadang para martir di bunuh dalam sel penjara yang
sudah penuh sesak dan tak pernah boleh dibersihkan itu. Mereka tidak
boleh keluar barang sebentarpun untuk memenuhi kebutuhannya.
Jarum-jarum ditusukkan di bawah kuku Aleksander Braint SJ (pesta:
1Des), supaya mengkhianati imam-imam temannya. Bruder Nikolaus Owen SJ
(pesta: 1Des), yang dipanggil ‘Little John’, disiksa dengan kejam
sekali karena pandai membuat tempat-tempat persembunyian bagi para
imam. Lagi pula ia tidak mau membocorkan nama para imam maupun tempat
mereka bersembunyi. Richard Gwyn, seorang awam dan guru, dibunuh dan
menjadi martir pertama di Wales. Filip Howard, bangsawan pengiring
ratu, bertobat karena menyaksikan keberanian dan kepandaian Edmund
Campion di depan pengadilan. Ia sendiri kemudian ditangkap dan
meringkuk selama 10 tahun di Tower London, sampai akhirnya diracuni
atas perintah ratu yang mengingikan kekayaannya. Roger Wrenno, seorang
penenun kain, digantung pada tahun 1616 di Lancaster. Namun talinya
putus, sehingga ia terjatuh. Ketika sadarkan diri, pendeta-pendeta
mendesaknya supaya murtad saja. Tetapi Roger dengan cepat naik tangga
lagi dan meminta algojo supaya memasang tali yang lebih kuat. Ketika
ditanya mengapa ia begitu buru-buru, Roger menjawab: “Seandainya anda
melihat apa yang baru saya lihat, anda pasti juga ikut terburu-buru.”
Ia telah melihat cahaya Ilahi menantikan kedatangannya. Anna Line,
seorang janda, sewaktu dipenggal berseru: “Alangkah baiknya seandainya
saya memberi penginapan kepada seribu orang imam daripada kepada
seorang saja.” Sampai masa pemerintahan Charles II, darah dari 78 martir
masih disemburkan karena berpegang teguh pada iman dan ajaran Katolik.
Baru seusai pembunuhan atas uskup Oliver Plunket dari Irlandia (1681),
penganiyaan yang ganas mengendor. Gereja Inggris bangga atas begitu
banyak putra-putrinya yang berani melawan diktator raja-raja dan
parlemen. Sejumlah 192 martir sudah dinyatakan ‘Kudus’ secara resmi
oleh Gereja sampai tahun 1965
Tidak ada komentar:
Posting Komentar